Saya ingin berkongsi kisah hidup saya, semoga apa yang saya luahkan ini dapat diterima dengan baik oleh para pembaca.
Perkahwinan saya telah mencapai enam tahun, alhamdulillah. Namun, kebahagiaan yang utuh dan berpanjangan masih terasa asing bagi saya. Kebahagiaan itu datang bagaikan tamu yang sekejap sahaja, paling lama bertahan dua atau tiga bulan, sebelum digantikan dengan pergaduhan yang tiada kesudahan.
Sejak dari awal perkahwinan, saya sudah diuji dengan dugaan. Ketika bulan madu, saya dipukul suami atas sebab yang sangat kecil. Peristiwa pahit ini meninggalkan luka yang mendalam dan mengusik rasa takut dalam diri saya.
Namun, takdir Allah begitu indah. Di saat saya masih berduka, saya dikurniakan kehamilan. Perasaan bahagia datang bersama berita gembira ini. Saya mengira peristiwa bulan madu akan menjadi kenangan pahit yang tertinggal, namun sangkaan saya meleset.
Ternyata, sekali suami memukul, maka akan menjadi kebiasaan. Kekerasan terus berulang, bahkan setelah saya melahirkan. Kebanyakannya berpunca daripada perkara remeh, yang kemudian memicu pergaduhan dan kata-kata kasar dari saya.
Dukacita saya bertambah dengan sikap mertua yang tidak menyukai saya. Setiap kali berkunjung ke rumah mereka, saya diperlakukan seolah-olah menumpang dan mengambil harta suami. Rasa sedih dan kecewa terpaksa saya pendam dalam diam.
Suami saya tidak pernah menunjukkan sikap tegas untuk membela saya. Ketika kakak iparnya cuba mencampuri urusan rumah tangga kami dan ingin mengambil anak saya, dia hanya berdiam diri. Pernah juga adik iparnya menulis sesuatu yang tidak menyenangkan tentang saya di media sosial, namun saya memilih untuk tidak membesar-besarkan perkara itu.
Meskipun saya juga bekerja dan memiliki penghasilan sendiri, mertua dan kakak ipar suami selalu memandang rendah terhadap saya. Mereka menganggap saya hanya menumpang kesenangan suami, tanpa mengetahui pahit getir yang saya lalui.
Kekecewaan saya bertambah apabila suami saya selalu berdiam diri ketika emak atau kakak iparnya menghina saya. Perasaan terluka dan marah terpaksa saya pendam dalam hati. Hanya ketika bergaduh dengan suami, barulah saya luahkan semua rasa kesal dan sakit hati yang telah lama terpendam.
Semakin hari, perhubungan kami semakin renggang. Kata-kata kasar dan pertengkaran menjadi makanan sehari-hari. Luka lama akibat pukulan suami masih terasa perih, dan kini ditambah dengan rasa benci yang semakin mendalam.
Saya berusaha untuk menjadi isteri yang terbaik, untuk memaafkan dan melupakan segala luka lama. Saya ingin memperbaiki hubungan kami, namun usaha saya selalu sia-sia. Setiap kali kami cuba berbincang, perbincangan itu selalu berakhir dengan pertengkaran.
Saya masih mencintai suami saya, namun saya sudah tidak mampu lagi menanggung semua ini. Luka dan rasa sakit yang dia berikan telah merenggut kebahagiaan dan harga diri saya sebagai seorang isteri.
Saya berdoa agar Allah SWT membuka hati suami saya dan memberikan kami hidayah untuk memperbaiki hubungan ini. Saya juga telah berusaha untuk mencari solusi dengan mengajaknya ke pejabat agama, namun respon yang saya terima tidak memuaskan.
Saya akui, saya juga memiliki kekurangan dalam berkomunikasi dengan suami. Namun, saya berharap kami dapat mencari jalan keluar bersama dan mencapai kata muafakat.
Saya hampir putus asa dengan situasi ini. Saya hanya ingin akhir yang baik bagi hubungan kami. Perkahwinan ini bukan sesuatu yang mudah dibina, dan tidak ada siapa pun yang menginginkan perceraian.
Semoga kisah saya ini dapat menjadi renungan bagi para pembaca, khususnya bagi mereka yang sedang menghadapi masalah dalam rumah tangga. Ingatlah, komunikasi dan saling memahami adalah kunci utama kebahagiaan dalam pernikahan.